Kamis, 19 Oktober 2017

SEJARAH GEREJA BNKP

BAB I
PENDAHULUAN

Di antara pulau-pulau lepas pantai barat Sumatera, pulau Nias adalah yang terbesar dan yang paling padat penduduknya. Pulau ini barulah dijajah orang Belanda sekitar tahun 1900. Sebelumnya, Belanda hanya menguasai daerah terbatas di sekeliling Gunung Sitoli. Penduduk, khususnya di pulau Nias, tidak menjadi pelaut, melainkan hidup dari usaha bercocok tanam. Maka masyarakatnya berifat tertutup dan adat serta agama turun-temurun berpengaruh besar.[1]
Misionaris Jerman pertama yang mendarat di Gunungsitoli adalah Pendeta L. Denninger. Misionaris lainnya menyusul kemudian. Mereka menembus kawasan Nias bagian Selatan pada tahun 1883 tetapi ditampik oleh orang-orang pribumi disana. Berpuluh tahun kemudian, mereka berhasil mengkristenkan penduduk pribumi, perubahan agama penduduk pribumi menjadi Kristen mempengaruhi sikap mereka terhadap kebudayaan, termasuk agama nenek moyang mereka. Fungsi agama kuno sebagai kontrol sosial dalam pengertian tradisionil telah ditransformasikan ke dalam etika Kristen, walaupun sebagian unsur kuno itu masih dipertahankan. Materi kebudayaan kuno seperti patung, batu-batu monumen gendang, tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Mungkin saja para penduduk masih mempertahankan beberapa tetapi hanya sekedar kenangan manis terhadap benda yang pernah dicintai dan dimiliki pada masa lampau.[2]






BAB II
ISI
A.    Permulaan Usaha PI
Akibat Perang Hidayat[3], maka sekitar tahun 1860 beberapa tenaga RMG kehilangan tempat kerja. Salah seorang di antara mereka bernama E.L. Denninger. Sebelum diutus ke Kalimantan iapun pernah menjadi tukang sapu cerobong asap rumah-rumah di Berlin. Oleh pengurus RMG di Barmen, Denninger disuruh pergi ke tanah Batak, tetapi karena isterinya sakit, ia terpaksa tinggal di Padang. Di sana ia enjalin hubungan dengan orang-orang Nias yang hidup di perantauan. Namun ia sampai pada kesimpulan, lebih bermanfaat kiranya kalau pergi sendiri ke Nias. Maka pada tanggal 27 September 1865 Denninger mendarat di Gunung Sitoli. Sebelumnya, antara tahun 1832-1835, telah ada dua misionaris (Katolik) bangsa Perancis bekerja di Nias, namun karya mereka tidak meninggalkan hasil.[4]
B.     1865-1890
Untuk menarik perhatian orang banyak supaya mau belajar Firman Tuhan dan nyanyian-nyanyian gereja, Denninger lebih dahulu membagikan tembakau untuk rokok dan ramuan sirih. Dalam masa permulaan yang sulit itu, Denninger berusaha mengajar beberapa pemuda agar dapat membaca dan menulis. Permulaan sekolah ini hanya diselenggarakan di rumah penduduk, dan ternyata berhasil, sehingga pemuda-pemuda inilah yang mampu menjadi pembantu-pembantu Denninger untuk mengajar anak-anak di sekitar Gunungsitoli pada tahun  1866.
Pada tahun 1872, tujuh tahun setelah kedatangan Denninger di Pulau Nias, datang pula missionaris kedua dari RMG yaitu Pendeta J.W. Thomas. Ia belajar bahasa Nias dari Denninger, kemudian melayani di Pos Pekabaran Injil  yang baru di Ombõlata.[5]
Sesudah itu  pada tahun 1873 datang lagi missionaris kegita bernama Kramer. Ia ditempatkan di Gunungsitoli bersama dengan istrinya yang terkenal sangat rajin berkunjung kepada keluarga-keluarga di Kampung Hilina’a, sehingga  pada hari paskah tahun 1874 berhasil dilaksanakan Baptisan pertama kepada 25 orang penduduk Kampung Hilina’a, termasuk Yawaduha, Salawa/kepala kampung Hilina’a. Dalam masa itu telah diciptakan sarana-sarana yang memungkinkan perluasan di kemudian hari. Pertama, orang Kristen Nias telah belajar untuk ikut aktif mengabarkan Injil. Salah seorang tokoh Nias yang berperanan besar dalam usaha P.I ialah kepala kampung, Ama Mandranga.[6]
Hasil pekabaran Injil berikutnya yakti pembaptisan 6 orang penduduk Ombõlata, tempat Pdt. J.W. Thomas melayani, dan pada tahun 1876 menyusul lagi pembaptisan 32 orang penduduk Faechu (±2 km dari Ombõlata). Pada tahun 1876 itu pula berdirilah Gedung Gereja yang pertama di Nias, yaitu di Ombõlata, dan pada tahun 1880 disusul lagi berdirinya gedung Gereja yang kedua, yaitu di Faechu.
Satu tahun sebelum meninggal dunia, yaitu pada tahun 1875, Denninger pergi berobat ke Batavia. Dan Pada tahun 1876 tiba di Nias missionaris keempat bernama Dr. W.H. Sundermann. Setelah dua tahun bersama Kramer di Gunungsitoli, Doktor Theologia ini merasa matang berbahasa Nias, lalu membuka Pos Pekabaran Injil  di Dahana, namun di sana ia berhadapan dengan penyembahan berhala yang begitu kuat. Sebab itu Ia beralih ke bidang pendidikan dan menghimpun dan mengajar para pemuda setempat. Usahanya inilah yang merupakan cikap bakal berdirinya Sekolah Guru di Nias.
Pada tahun 1881 datang lagi misionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia ini yang mengantikan J.W. Thomas di Ombõlata pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi berusaha membuka pos Pekabaran Injil di Sa’ua, meskipun usahanya  itu ternyata gagal.
Pada tahun 1882 didirikan sebuah lembaga pendidikan guru. Tetapi menonjollah bahwa penduduk Nias kalau meminta tenaga penginjil, lebih mengharapkan kedatangan seorang zendeling bangsa lain daripada tenaga sesuku mereka. Namun, para zendeling sadar akan peranan penting pembantu-pembantu mereka itu, sehingga mereka tetap berupaya meningkatkan wewenang pembantu itu di mata orang Nias. Pun upaya supaya jemaat-jemaat Nias menjadi swadaya telah dimulai agak dini. Sarana yang hendak disebut terakhir ialah penerjemahan Alkitab dan buku-buku lain ke dalam bahasa Nias (Utara) oleh pekabar Injil H. Sundermann, dengan bantuan Ama Mandranga dan beberapa orang Nias lannya (Injil Lukas, 1874; PB, 1891).[7]
Dalam 25 tahun masa permulaan ini, 5 orang pendeta penginjil dari RMG Jerman telah bekerja di Nias. Namun usaha Pekabaran Injil banyak kesulitan, seperti pengaruh agama suku yang sangat kuat, gangguan keamanan, wabah penyakit, keadaan geografi dan lain-lain. Daerah yang dicapai hanya di sekitar Gunungsitoli saja, dengan 3 Pos Pekabaran Injil yaitu Gunungsitoli, Ombõlata, dan Dahana. Usaha Denninger (yang dibantu oleh Kodding dan Mohri) di Onolimbu (Muara sungai Idanõ Mola) pada tahun 1867, Sunderman di Tugala Lahõmi-Sirombu tahun 1875/1876, J.W. Thomas di Sa’ua tahun 1885, semua itu baru bersifat penjajakan.
Walaupun banyak kesulitan yang dialami serta jangkauan Pekabaran Injil yang dapat dicapai tidak begitu luas, namun dalam periode ini telah berhasil dibaptis sebanyak 699 orang (148 orang di Gunungsitoli, 348 orang di Ombõlata dan 203 orang di Dahana). Juga diantara mereka telah dipilih beberapa orang menjadi penatua.[8]
C.     1891-1916
Usaha Pekabaran Injil pada periode ini ternyata mengalami kemajuan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada periode ini berhasil masuk di Nias bagian Tengah sampai  ke Nias bagian Barat, Pantai sebelah Timur sampai di Nias bagian Selatan, Nias bagian Utara dan di Pulau-pulau Batu.[9]
Sementara itu, para zendeling menambahkan pada jumlah para guru dan penatua menjadi hampir 500. Diciptakannya pula jabatan sinenge ("rasul"), yang melayani jemaat-jemaat yang tidak mempunyai sekolah. Pada tahun 1906 ditahbiskanlah pendeta Nias yang pertama. Terjemahan seluruh Alkitab selesai dicetak pada tahun 1913. Bidang kegiatan para zendeling luas sekali: mereka membangun jalan-jalan, mendirikan bank tabungan, membuka kebun-kebun kopi, semua dalam rangka melicinkan jalan bagi usaha pI dan meningkatkan daya ekonomi jemaat Kristen. Berkat usaha mereka di bidang kesehatan, jumlah orang Kristen meningkat oleh pertumbuhan alamiah (masih terlepas dari masuknya orang yang bukan Kristen), sedangkan jumlah penduduk pulau Nias dalam keseluruhannya menurun akibat penyakit-penyakit menular. Dalam pada itu, para zendeling masih kurang senang melihat keadaan jemaat secara batin: penyalahgunaan minuman keras, kekacauan di bidang perkawinan, keengganan untuk memberi sumbangan berupa uang atau benda bagi kehidupan jemaat, masih merajalela. Pun mayoritas orang Nias tetap menolak Injil. Kata seorang zendeling. "Saya merasa bagaikan ular yang berusaha menggigiti besi".[10]
D.    Kebangunan Besar dan Hasil-hasilnya
Pada tahun 1916, terjadi kebangunan besar yang bermula di jemaat Helefanicha. Ada seorang yang menangis terus-menerus karena menyesali dosanya. Peristiwa ini pun terus terulang dan makin banyak orang yang demikian. Kebangunan yang berlangsung selama sepuluh tahun lebih itu membawa hasil besar bagi kehidupan jemaat, untuk perseorangan dan untuk persekutuan. Orang menghayati agama Kristen secara lebih mendalam; kabar kesukaan tentang keampunan dosa telah menjadi kenyataan hidup bagi mereka. Pergaulan antara sesama anggota jemaat menjadi santai, bebas, tidak lagi dibuat kaku oleh kenangan akan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh anggota yang satu terhadap yang lain. Kehidupan persekutuan jemaat diperkaya, sebab, daripada bersikap pasif sambil menunggu tindakan penghantar jemaat, kini anggota jemaat ikut serta dalam segala macam kegiatan persekutuan. Namun, sesudah sepuluh tahun, gerakan kebangunan yang besar itu mereda. Lalu dalam banyak hal keadaan semula berlaku kembali. Jemaat kembali menjadi pasif, kerelaan berkorban bagi kehidupan jemaat menghilang lagi, disiplin gereja perlu diterapkan lagi, adat kembali berkuasa di atas hukum Kristen (khususnya dalam hal mas kawin/jujuran yang terlalu tinggi). Dalam dasawarsa-dasawarsa yang kemudian, sebagian dari massa yang masuk Kristen malah memisahkan diri atau berhasil ditarik oleh misi Katolik.[11]
E.     Gereja Berdiri Sendiri
Setelah gerakan kebangunan mereda, para zendeling mulai memikirkan kemandirian gereja. Pada tahun 1936 selesailah mereka merancangkan tata gereja. Lalu diadakan sinode Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) yang pertama (18 November 1936). Sinode itu menerima tata gereja yang telah dirancangkan. Keinginan Pengurus RMG di Barmen supaya semua pekabar Injil bangsa Eropa otomotis menjadi anggota sidang sinode dipenuhi; sebaliknya para zendeling menolak permintaan orang Kristen Nias, agar setiap distrik gereja diperbolehkan mengutus seorang tokoh masyarakat (seorang kepala suku) ke sinode sebagai anggota yang berhak penuh. Pada tahun 1940, semua zendeling bangsa Jerman ditawan oleh gubernemen. Maka fungsi ketua sinode (Ephorus) diambil alih oleh serang pendeta Nias, bernama Atefona Harefa. pada tahun 1942, para pendeta Belanda yang telah menggantikan orang Jerman yang ditawan itu diinternir pula oleh penguasa Jepang. Maka gereja harus benar-benar berdiri sendiri. Barulah pada tahun 1951 seorang utusan zending dari Jerman (seorang dokter) kembali bekerja di Nias, disusul oleh sejumlah orang Eropa yang lain. Namun, kedudukan mereka ini berbeda dengan kedudukan para zendeling sebelum perang: mereka mendapat status "penasihat".[12]
F.      Nama, Kedudukan, dan Logo BNKP
BNKP adalah singkatan dari Banua Niha Keriso Protestan yang merupakan persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus yang berasal dari suku Nias dan suku-suku lainnya di dunia. BNKP hadir dan melayani di seluruh wilayah Indonesia dan Kantor Sinodenya berkedudukan di Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara. Logo BNKP adalah seperti terlihat di bawah ini:

Dengan arti dan makna sebagai berikut:
1.      BNKP mengaku bahwa Yesus Kristus yang ditandai dengan salib-Nya telah memanggil suku Nias dan sukusuku lainnya dari dunia ke dalam terang-Nya yang ajaib untuk beroleh pengampunan dan keselamatan.
2.      Tulisan BNKP yang mengitari salib, merupakan pengakuan bahwa kehidupan BNKP secara total adalah dari, oleh dan untuk Yesus Kristus.
3.      BNKP sebagai gereja telah diutus kembali ke dalam dunia yang ditandai dengan bola bumi, untuk memberitakan salib Kristus dalam menyatakan pembebasan, pengampunan, perdamaian dan berkatbagi segala makhluk.
4.      BNKP sebagai gereja berpengharapan akan kehidupan yang kekal yang ditandai dengan mahkota yang telah dipersiapkan oleh Yesus Kristus bagi orang yang percaya dan setia kepada-Nya.[13]
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sebagai dampak datangnya Injil dan usaha pekabaran injil di Nias, maka berdirilah Gereja BNKP yang melembaga sebagai satu sinode  pada tanggal 18 November 1936. BNKP adalah satu gereja beraliran reformasi di Indonesia, yang telah menjelma di Pulau Nias sejak kedatangan Missionaris pertama Ernst Ludwig Denninger di Pulau Nias pada hari Rabu, tanggal  27 September 1865. Denninger memiliki banyak cara untuk menarik perhatian supaya orang-orang mau belajar Firman Tuhan dan menyanyikan puji-pujian. Dalam perkembangannya tercatat bahwa BNKP berasal dari hasil pemberitaan Injil  para utusan Rheinische Missions Gessellschaft (RMG) dan ada pula utusan dari Belanda yang selanjutnya diteruskan oleh para pemberita Injil Ono Niha.
B.     Saran
Para misionaris yang melayani di Pulau Nias, patutlah menjadi teladan bagi kita. Mereka sudah mengalami hal-hal yang pahit, namun tetap teguh dalam pemberitaan Injil. Kerinduan mereka supaya semua bangsa mengenal Injil-Nya haruslah juga tertanam dalam diri kita walaupun dalam pelayanan banyaklah tantangan yang harus kita hadapi. Kita juga dapat meneladani Denninger, di mana dalam melayani kita harus memikirkan berbagai macam cara untuk menarik perhatian orang-orang sehingga mereka tertarik untuk belajar Firman Tuhan dan Kristuslah yang dipermuliakan.





[1] Dr. Th. Van den End, Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-sekarang, Jakarta: Gunung Mulia, 1993, 202
[2] Bambowo La‟iya, Solidaritas Kekeluargaan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983, Hal 27.
[3] Perang Hidayat/ Perang Banjar (1859-1905)] adalah perang perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda yang terjadi di Kesultanan Banjar yang meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
[4] Dr. Th. Van den End, Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-sekarang, Jakarta: Gunung Mulia, 1993, 202

[5] https://bnkpteladan.wordpress.com/bnkp/
[6] http://www.sabda.org/sejarah/artikel/pekabaran_injil_dan_gereja_di_nias.htm
[7] Dr. Th. Van den End, Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-sekarang, Jakarta: Gunung Mulia, 1993, 203
[8] https://bnkpteladan.wordpress.com/bnkp/
[9] Ibid..
[10] Dr. Th. Van den End, Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-sekarang, Jakarta: Gunung Mulia, 1993, 203
[11] http://www.sabda.org/sejarah/artikel/pekabaran_injil_dan_gereja_di_nias.htm
[12] Dr. Th. Van den End, Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-sekarang, Jakarta: Gunung Mulia, 1993, 206
[13] tata-gereja-banua-niha-keriso-protestan-bnkp.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar