Kamis, 19 Oktober 2017

2 Raja-raja 22:1-13 "Keteladanan Pemimpin Reformis"

Nama   : Noviani Yunita Sari
Nats     : 2 Raja-raja 22:1-13
“Keteladanan Pemimpin Reformis”

PENDAHULUAN
Pada tanggal 31 nanti, kita akan memperingati 500 tahun Reformasi. Apa itu reformasi? Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Tokoh reformasi Protestan yang kita kenal yaitu Martin Luther dan John Calvin. Namun, jauh sebelumnya ada seorang tokoh pemimpin reformis yang memimpin sejak dia masih muda, yaitu Raja Yosia. Dalam 2 Raja-raja 22:1-13, kita dapat belajar bagaimana mejadi pemimpin yang reformis. Yosia, adalah salah satu raja di dalam sejarah kerajan Yehuda (Israel Bagian Selatan) yang mempunyai track record yang sungguh mengagumkan. Di dalam sejarah raja-raja Israel dan Yehuda, tidak banyak ditemukan raja yang benar di mata TUHAN. Di antara sekian yang takut akan TUHAN, terdapat hanya beberapa nama raja yang takut akan TUHAN. Kelahirannya sudah dinubuatkan sebagai pemimpin yang reformis di Kitab 1 Raja-Raja 13:2 pada masa pemerintahan Yerobeam oleh seorang abdi Allah. Yosia adalah seorang raja yang lahir dari seorang ayah dan kakek yang tidak takut akan TUHAN dengan segala tingkah laku mereka yang jahat.  Nama ayahnya adalah Amon dan nama kakeknya adalah Manasye.
ISI
Menjadi pemimpin yang reformis, kita harus menjalin hubungan vertical kita dengan Tuhan, dengan cara:
1.      Memperbaharui Hubungan Dengan TUHAN (2 Raja-Raja 22:3-7)
Semenjak jatuhnya raja Salomo, tidak ada raja yang bertahta di Yerusalem yang sungguh-sungguh memperhatikan rumah TUHAN yang dibangun oleh Salomo atas rancangan Raja Daud. Bukan hanya tidak dirawat, rumah TUHAN malahan dinajiskan oleh raja-raja sebelum Yosia dengan meletakkan berhala-berhala di dalamnya. Di komplek rumah TUHAN pun dijadikan tempat untuk melakukan hal-hal najis. Hasil dari usaha reformisnya tersebut, akhirnya kitab Taurat ditemukan di dalam rumah TUHAN.  Jika dilihat Tindakan memperbaiki Bait Suci itu dapat dikatakan kurang tepat dan hasilnya kurang efektif, sebab 2 raja sebelum Yosia sudah terlanjur merusak moral, akhlak, dan kerohanian bangsa Yehuda. Untuk memperbaiki keadaan ini dibutuhkan usaha yang lebih dari sekadar memperbaiki bait Allah.
Sesungguhnya Yosia tidak mempunyai penuntun, karena pada zaman raja Manasye, hampir seluruh salinan kitab Taurat Musa sudah dimusnahkannya. Namun Allah tidak membiarkan kerinduannya yang tulus menjadi padam. Ia memberkati usaha Yosia. Perbaikan bait Allah memang tidak membawa kepada pembaharuan rohani namun memimpin kepada ditemukannya kitab Taurat -- yang akan memberi arah dan petunjuk bagi Yosia.
Ada 2x Yosia mengatakan “memperbaiki” (5-6). Di sini maknanya tidak hanya memperbaiki, namun juga memperkokoh/memperkuat. Yosia ingin rumah Tuhan itu diperbaiki sehingga menjadi lebih kokoh dan kuat. Dengan memperbaiki rumah Tuhan ini, Yosia ingin memperbaiki hubungan bangsa Israel dengan Tuhan yang telah rusak. Rumah Tuhan dipakai untuk menyembah Tuhan, bukan berhala, dan untuk menyenangkan hati Tuhan.


TUHAN selalu menyatakan diri kepada orang yang tulus mencarinya. Begitu juga dalam hal ini, saat renovasi rumah TUHAN dilakukan dengan sungguh-sungguh, kitab Taurat ditemukan kembali. Hubungan kita dengan Tuhan yang sudah longgar atau malah rusak, haruslah kita perbaiki sehingga kita memiliki hubungan yang kuat dan kokoh dengan Tuhan.


2.      Peka Terhadap Suara TUHAN (2 Raja-Raja 22:11)
Faktor yang membuat Yosia mengoyakkan pakaiannya adalah bagian-bagian yang  berisi hukuman yang akan menimpa kerajaannya(ayat 1-17). Raja Yosia peka, tahu dan menyadari kebobrokn bangsanya yang membuat Tuhan akan menjatuhkan malapetaka atas Yehuda.  Dibutuhkan sebuah kepekaan untuk dapat mengerti isi Firman TUHAN jika dihubungkan dengan sebuah keadaan.
Sensifitas terhadap suara TUHAN dibutuhkan hal ini, apalagi kalau Firman TUHAN dibacakan secara general.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah analogi hubungan seorang ibu dengan bayinya yang baru lahir. Di tempat umum (rumah sakit bersalin), di tengah-tengah kesimpang-siuran suara ibu-ibu dan tangisan bayi-bayi lainnya, ibu itu bisa mengenali nada suara tangisan bayinya sendiri. Begitu juga kebalikannya. Semua itu menjadi mungkin hanya oleh karena mereka mempunyai ikatan ‘batin’ yang begitu dekat!

Ilustrasi tersebut jelas menggambarkan keintiman hubungan yang kita perlukan untuk bisa mempunyai kemampuan untuk mendengar suara Tuhan. Karena memang, persekutuan melalui doa dan kerajinan mempelajari alkitab, dengan berlalunya waktu akan membuat ‘telinga’ hati kita menjadi semakin peka akan suara Roh Kudus. Maka dari itu, kembali lagi bahwa hubungan kita dengan Tuhan yang mungkin telah rusak haruslah diperbaharui dan dipererat kembali.

3.      Meminta Petunjuk Kepada TUHAN
Setelah menyadari bahwa ada yang salah, seorang pemimpin yang baik pastilah akan bertindak dengan hati-hati, dalam hal ini raja Yosia ingin mengetahui lebih spesifik apa yang akan terjadi menimpa dirinya dan rakyatnya sehingga jika memang segala sesuatu masih bisa diperbaiki, maka hal itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Maka dari itu, Yosia memerintahkan imam Hilkia dan lain-lain untuk pergi kepada seorang nabiah yang bernama Hulda untuk meminta petunjuk dari Tuhan.
Dalam ayat 13 ini, kata “meminta” bukan hanya sekedar meminta, melainkan juga “mencari”.

Berdasarkan ilmu kedokteran, tanda adalah petunjuk yang nampak dan dapat dilihat secara objektif, sementara gejala adalah petunjuk yang tidak tampak dan merupakan suatu pendapat yang subjektif. Tanpa kedua hal ini, sangat sulit bagi para dokter untuk menegakkan diagnosis yang tepat. Tanpa diagnosis yang tepat, tentu bisa dipastikan dokter tidak dapat memberikan tatalaksana yang memadai kepada pasien.

Demikian juga halnya dengan kehidupan manusia. Manusia benar-benar membutuhkan petunjuk di dalam hidupnya. Allah ingin kita mencari petunjuk dari-Nya melalui doa (Yak. 1:5). Dia juga memberi kita bimbingan melalui Roh Kudus (Yoh. 14:26) dan firman-Nya (Mzm. 119:105). Dia menyediakan para pembina rohani dan pemimpin yang bijaksana. Dan Dia telah memberi kita teladan dalam diri Yesus.

PENUTUP

Salah satu kunci untuk menjadi pemimpin yang reformis adalah dengan menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan dengan cara memperbaharui hubungan kita yang mungkin telah rusak, peka terhadap suara-Nya, dan meminta petunjuk kepada Tuhan untuk melakukan sesuatu. Marilah kita sama-sama belajar untuk menjadi pemimpin yang reformis yang juga dapat menjadi teladan bagi orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar