Senin, 17 Oktober 2016

AMSAL 14:29-33



Pendahuluan
Pernahkah kita mengukur diri kita sendiri atau menilai diri kita sendiri apakah kita sungguh-sungguh telah hidup benar? Dalam Amsal 14:29-33, terdapat beberapa kontradiksi yang akan kita cermati bersama.
Isi
Benar dan salah adalah hal yang bertentangan. Sekali lagi, kita sebagai Hamba Tuhan, apakah kita telah hidup sebagai orang benar? Pada perenungan saat ini, kita belajar beberapa ciri orang benar dan yang bukan.
I.                    (Ay. 29) Orang benar itu sabar, tetapi yang bukan, akan cepat marah
Kata “sabar” pada ayat ini, dalam arti sebenarnya adalah “hidung/nafas panjang”. Ini adalah sebuah idiom Ibrani yang menekankan bahwa orang yang sabar, tabah, dapat menahan emosinya, memiliki nafas panjang (menjaga kesehatannya).

Ilustrasi:
Waktu masih di taman Eden, beberapa hari berturut-turut , Adam selalu pulang lewat malam. Hawa sangat kesal, “kamu mulai sorong dengan perempuan lain ya?” kata Hawa memulai tuduhannya. “ngaco kamu, gak rasional!” Jawab Adam. “Kamu kan satu-satunya perempuan di muka bumi ini.” pertengkaran terus berlanjut, kemudian terhenti ketika Adam tertidur. Tetapi tak lama kemudian, Adam terbangun karena merasa geli di bagian rusuk badannya. Ternyata Hawa sedang menusuk-nusukkan jarinya ke rusuk Adam. Setengah berteriak, Adam berkata “Hei, apa yang kamu lakukan?” Hawa dengan santai menjawab, “Aku sedang menghitung rusukmu.”

Ketika emosi menguasai, rasio jadi tersingkirkan. Blunder (kesalahan besar/ kekhilafan) biasanya berawal dari kondisi demikian.

Mungkin tidak kita sadari. Kebodohan tampak nyata bukanlah karena IQ kita rendah. Atau juga karena tingkat pendidikan rendah. Maupun karena kurangnya pengetahuan. Tapi karena kita tidak bisa mengendalikan kemarahan.
Menjadi orang sabar itu banyak manfaatnya. Selain lebih sehat, kita dapat menjadi lebih bijaksana terlebih dalam mengambil keputusan atau tindakan karena akal pikiran kita masih dapat terkontrol. Tidak dikuasai emosi. Dan kadangkala di saat marah, kita ingin melukai orang lain. Setelah semua berlalu, barulah kita menyadari bahwa yang terluka sebenarnya adalah diri kita sendiri.

II.                  (Ay. 30) Orang benar itu berhati tenang, tetapi yang bukan, memiliki iri hati
“hati yang sehat, menghidupkan daging, tetapi iri hati mengeringkan tulang.” Kata iri hati di sini menggunakan kata “kin’ah” yang berarti jealousy yang memiliki makna bukan hanya kecemburuan, tapi juga iri hati dan juga kedengkian. Dan semuanya itu akan “rottenness to the bones”. Bukan hanya kurus. Tp tulang menjadi kering.  Bahkan, dalam terjemahan Jerusalem Bible dikatakan bahwa “envy” akan menyebabkan kanker. Kanker tulang. Bukan “kanker = kantong kering”. Jika kantong kering tapi hati kita tenang, kita akan tetap sehat-sehat saja.

“di saat badai bergelora, ku akan terbang bersama-Mu, Bapa Kau Raja atas s’mesta. Ku tenang s’bab Kau Allahku”
Sumber ketenangan kita adalah Allah sendiri. Dan yang bersumber dari diri kita sendiri hanyalah ego yang jika tidak kita puaskan akan menyebabkan iri hati atau kecemburuan dan itu akan menyakiti diri kita sendiri. Mari serahkan diri kita kepada Tuhan biar Tuhan yang menguasai ego kita dan memberikan ketenangan dan damai sejahtera.
Dan mari kita intropeksi diri kembali. Apakah dalam hati kita masih ada “jealousy” yang membuat kita tidak tenang? Yang membuat kita tidak sejahtera? Jika ya, apakah kita pantas menilai diri kita sebagai orang benar?

III.                (Ay. 31) Orang benar itu menaruh belas kasihan, tetapi yang bukan, menindas  yang lemah
Dalam perikop bacaan hari ini, sikap menghina dan menindas sesama diulang hingga dua kali (ay. 21, 31). Menunjukkan betapa rawannya umat Tuhan untuk bersikap tidak benar kepada sesama, terutama kepada orang yang lemah, miskin, atau tidak sempurna secara fisik (difabel). Sikap menghina bisa berarti merendahkan, memandang rendah atau hina, menganggap tidak penting. Sebagaimana dinyatakan oleh Tuhan Yesus, sikap kita terhadap orang-orang seperti mereka memancarkan sikap kita terhadap Tuhan (Mat 25:40).

Peraturan Daerah tentang Kesetaraan dan Pemberdayaan Difabel (2013) di Wonogiri, Jawa Tengah, menarik untuk dicermati. Menurut peraturan tersebut, orang yang terbukti menghina kaum difabel dapat dikenai denda sebesar 50 juta rupiah. Banyak pihak memberi apresiasi tinggi atas kebijakan ini. Diharapkan, hal itu berdampak positif dan menyadarkan orang untuk lebih menghargai kaum difabel.

Tindakan menghina atau menindas orang lemah adalah penghinaan terhadap Sang Pencipta. Di sekitar kita, tidak sedikit orang hidup dalam kelemahan, miskin secara materi, atau tidak sempurna secara fisik (difabel). Sementara itu, tidak sedikit pula orang yang memperlakukan mereka dengan cara yang tidak patut, merendahkan, bahkan menghina dan menyepelekan. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memancarkan kasih Tuhan dengan mengasihi sesama, khususnya mereka yang lemah? Kiranya kasih-Nya memotivasi kita untuk memperlakukan sesama dengan benar, bukan karena takut hukuman atau denda karena kita dipanggil untuk menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan, terlebih kepada orang-orang yang terabaikan, lemah dan tak berdaya, miskin. Dan  haruslah kita merefleksikan iman kita dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang merefleksikan iman adalah tidak menindas orang lemah, tidak memeras orang miskin.
Pandanglah sesama dengan kacamata kasih sebagaimana Tuhan memandang kita Nyatakan kasih Kristus kepada dunia melalui perbuatan nyata untuk menolong orang lain. Marilah kita refleksikan iman kita secara nyata melalui kepeduliaan kita dengan sesama secara khusus bagi mereka yang lemah. CARA KITA MEMPERLAKUKAN MANUSIA MENUNJUKKAN SIKAP KITA KEPADA TUHAN.

IV.                (Ay. 32 dan 33) Orang benar akan mendapat perlindungan bahkan hikmat, tetapi yang bukan, akan dirobohkan
Ini adalah dampak dari cara hidup kita. Apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai. Orang yang hidupnya tidak benar, akan dirobohkan. Dia akan menuai akibanya. Hati-hati! Mungkin akibatnya itu tidak langsung berdampak saat itu juga, saat kita melakukan ketidakbenaran. Namun, hal itu pasti terjadi. Selain mendapatkan perlindungan, orang benar akan diberikan hikmat dari Tuhan untuk senantiasa melakukan segala sesuatu sesuai dengan tatanan yang ditetapkan oleh Allah.

Penutup
Status orang benar atau bukan, tidaklah dinilai dari diri kita sendiri, melainkan penilaian dari orang lain. Jadi, apakah kita bisa dikatakan sebagai orang benar? Ya. Karena Tuhan Yesus sendiri telah membenarkan kita dan menjadikan kita sebagai orang benar. Itu adalah sebuah anugerah. Oleh sebab itu, marilah kita yang telah dibenarkan oleh Kristus, merefleksikannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Hidup sebagai orang benar yang dapat bersabar, berhati tenang, dan memiliki belas kasihan. Supaya orang lain juga dapat menilai kita bahwa kita telah hidup di dalam kebenaran.