BAB
I
PENDAHULUAN
Di
antara pulau-pulau lepas pantai barat Sumatera, pulau Nias adalah yang terbesar
dan yang paling padat penduduknya. Pulau ini barulah dijajah orang Belanda
sekitar tahun 1900. Sebelumnya, Belanda hanya menguasai daerah terbatas di sekeliling
Gunung Sitoli. Penduduk, khususnya di pulau Nias, tidak menjadi pelaut,
melainkan hidup dari usaha bercocok tanam. Maka masyarakatnya berifat tertutup
dan adat serta agama turun-temurun berpengaruh besar.[1]
Misionaris
Jerman pertama yang mendarat di Gunungsitoli adalah Pendeta L. Denninger.
Misionaris lainnya menyusul kemudian. Mereka menembus kawasan Nias bagian
Selatan pada tahun 1883 tetapi ditampik oleh orang-orang pribumi disana.
Berpuluh tahun kemudian, mereka berhasil mengkristenkan penduduk pribumi,
perubahan agama penduduk pribumi menjadi Kristen mempengaruhi sikap mereka
terhadap kebudayaan, termasuk agama nenek moyang mereka. Fungsi agama kuno
sebagai kontrol sosial dalam pengertian tradisionil telah ditransformasikan ke
dalam etika Kristen, walaupun sebagian unsur kuno itu masih dipertahankan.
Materi kebudayaan kuno seperti patung, batu-batu monumen gendang, tidak lagi
berfungsi sebagaimana mestinya. Mungkin saja para penduduk masih mempertahankan
beberapa tetapi hanya sekedar kenangan manis terhadap benda yang pernah
dicintai dan dimiliki pada masa lampau.[2]
BAB
II
ISI
A. Permulaan
Usaha PI
Akibat
Perang Hidayat[3],
maka sekitar tahun 1860 beberapa tenaga RMG kehilangan tempat kerja. Salah
seorang di antara mereka bernama E.L. Denninger. Sebelum diutus ke Kalimantan
iapun pernah menjadi tukang sapu cerobong asap rumah-rumah di Berlin. Oleh
pengurus RMG di Barmen, Denninger disuruh pergi ke tanah Batak, tetapi karena
isterinya sakit, ia terpaksa tinggal di Padang. Di sana ia enjalin hubungan
dengan orang-orang Nias yang hidup di perantauan. Namun ia sampai pada
kesimpulan, lebih bermanfaat kiranya kalau pergi sendiri ke Nias. Maka pada
tanggal 27 September 1865 Denninger mendarat di Gunung Sitoli. Sebelumnya,
antara tahun 1832-1835, telah ada dua misionaris (Katolik) bangsa Perancis
bekerja di Nias, namun karya mereka tidak meninggalkan hasil.[4]
B. 1865-1890
Untuk
menarik perhatian orang banyak supaya mau belajar Firman Tuhan dan
nyanyian-nyanyian gereja, Denninger lebih dahulu membagikan tembakau untuk
rokok dan ramuan sirih. Dalam masa permulaan yang sulit itu, Denninger berusaha
mengajar beberapa pemuda agar dapat membaca dan menulis. Permulaan sekolah ini
hanya diselenggarakan di rumah penduduk, dan ternyata berhasil, sehingga
pemuda-pemuda inilah yang mampu menjadi pembantu-pembantu Denninger untuk
mengajar anak-anak di sekitar Gunungsitoli pada tahun 1866.
Pada
tahun 1872, tujuh tahun setelah kedatangan Denninger di Pulau Nias, datang pula
missionaris kedua dari RMG yaitu Pendeta J.W. Thomas. Ia belajar bahasa Nias
dari Denninger, kemudian melayani di Pos Pekabaran Injil yang baru di Ombõlata.[5]
Sesudah
itu pada tahun 1873 datang lagi
missionaris kegita bernama Kramer. Ia ditempatkan di Gunungsitoli bersama
dengan istrinya yang terkenal sangat rajin berkunjung kepada keluarga-keluarga
di Kampung Hilina’a, sehingga pada hari
paskah tahun 1874 berhasil dilaksanakan Baptisan pertama kepada 25 orang
penduduk Kampung Hilina’a, termasuk Yawaduha, Salawa/kepala kampung Hilina’a. Dalam
masa itu telah diciptakan sarana-sarana yang memungkinkan perluasan di kemudian
hari. Pertama, orang Kristen Nias telah belajar untuk ikut aktif mengabarkan
Injil. Salah seorang tokoh Nias yang berperanan besar dalam usaha P.I ialah
kepala kampung, Ama Mandranga.[6]
Hasil
pekabaran Injil berikutnya yakti pembaptisan 6 orang penduduk Ombõlata, tempat
Pdt. J.W. Thomas melayani, dan pada tahun 1876 menyusul lagi pembaptisan 32
orang penduduk Faechu (±2 km dari Ombõlata). Pada tahun 1876 itu pula
berdirilah Gedung Gereja yang pertama di Nias, yaitu di Ombõlata, dan pada
tahun 1880 disusul lagi berdirinya gedung Gereja yang kedua, yaitu di Faechu.
Satu
tahun sebelum meninggal dunia, yaitu pada tahun 1875, Denninger pergi berobat
ke Batavia. Dan Pada tahun 1876 tiba di Nias missionaris keempat bernama Dr.
W.H. Sundermann. Setelah dua tahun bersama Kramer di Gunungsitoli, Doktor
Theologia ini merasa matang berbahasa Nias, lalu membuka Pos Pekabaran
Injil di Dahana, namun di sana ia
berhadapan dengan penyembahan berhala yang begitu kuat. Sebab itu Ia beralih ke
bidang pendidikan dan menghimpun dan mengajar para pemuda setempat. Usahanya
inilah yang merupakan cikap bakal berdirinya Sekolah Guru di Nias.
Pada
tahun 1881 datang lagi misionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia ini yang
mengantikan J.W. Thomas di Ombõlata pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi
berusaha membuka pos Pekabaran Injil di Sa’ua, meskipun usahanya itu ternyata gagal.
Pada
tahun 1882 didirikan sebuah lembaga pendidikan guru. Tetapi menonjollah bahwa
penduduk Nias kalau meminta tenaga penginjil, lebih mengharapkan kedatangan
seorang zendeling bangsa lain daripada tenaga sesuku mereka. Namun, para
zendeling sadar akan peranan penting pembantu-pembantu mereka itu, sehingga
mereka tetap berupaya meningkatkan wewenang pembantu itu di mata orang Nias.
Pun upaya supaya jemaat-jemaat Nias menjadi swadaya telah dimulai agak dini.
Sarana yang hendak disebut terakhir ialah penerjemahan Alkitab dan buku-buku
lain ke dalam bahasa Nias (Utara) oleh pekabar Injil H. Sundermann, dengan
bantuan Ama Mandranga dan beberapa orang Nias lannya (Injil Lukas, 1874; PB,
1891).[7]
Dalam
25 tahun masa permulaan ini, 5 orang pendeta penginjil dari RMG Jerman telah
bekerja di Nias. Namun usaha Pekabaran Injil banyak kesulitan, seperti pengaruh
agama suku yang sangat kuat, gangguan keamanan, wabah penyakit, keadaan
geografi dan lain-lain. Daerah yang dicapai hanya di sekitar Gunungsitoli saja,
dengan 3 Pos Pekabaran Injil yaitu Gunungsitoli, Ombõlata, dan Dahana. Usaha
Denninger (yang dibantu oleh Kodding dan Mohri) di Onolimbu (Muara sungai Idanõ
Mola) pada tahun 1867, Sunderman di Tugala Lahõmi-Sirombu tahun 1875/1876, J.W.
Thomas di Sa’ua tahun 1885, semua itu baru bersifat penjajakan.
Walaupun
banyak kesulitan yang dialami serta jangkauan Pekabaran Injil yang dapat
dicapai tidak begitu luas, namun dalam periode ini telah berhasil dibaptis
sebanyak 699 orang (148 orang di Gunungsitoli, 348 orang di Ombõlata dan 203
orang di Dahana). Juga diantara mereka telah dipilih beberapa orang menjadi
penatua.[8]
C. 1891-1916
Usaha
Pekabaran Injil pada periode ini ternyata mengalami kemajuan dibandingkan
dengan periode sebelumnya. Pada periode ini berhasil masuk di Nias bagian
Tengah sampai ke Nias bagian Barat,
Pantai sebelah Timur sampai di Nias bagian Selatan, Nias bagian Utara dan di
Pulau-pulau Batu.[9]
Sementara
itu, para zendeling menambahkan pada jumlah para guru dan penatua menjadi
hampir 500. Diciptakannya pula jabatan sinenge ("rasul"), yang
melayani jemaat-jemaat yang tidak mempunyai sekolah. Pada tahun 1906
ditahbiskanlah pendeta Nias yang pertama. Terjemahan seluruh Alkitab selesai
dicetak pada tahun 1913. Bidang kegiatan para zendeling luas sekali: mereka
membangun jalan-jalan, mendirikan bank tabungan, membuka kebun-kebun kopi,
semua dalam rangka melicinkan jalan bagi usaha pI dan meningkatkan daya ekonomi
jemaat Kristen. Berkat usaha mereka di bidang kesehatan, jumlah orang Kristen
meningkat oleh pertumbuhan alamiah (masih terlepas dari masuknya orang yang
bukan Kristen), sedangkan jumlah penduduk pulau Nias dalam keseluruhannya
menurun akibat penyakit-penyakit menular. Dalam pada itu, para zendeling masih
kurang senang melihat keadaan jemaat secara batin: penyalahgunaan minuman
keras, kekacauan di bidang perkawinan, keengganan untuk memberi sumbangan
berupa uang atau benda bagi kehidupan jemaat, masih merajalela. Pun mayoritas
orang Nias tetap menolak Injil. Kata seorang zendeling. "Saya merasa
bagaikan ular yang berusaha menggigiti besi".[10]
D. Kebangunan
Besar dan Hasil-hasilnya
Pada
tahun 1916, terjadi kebangunan besar yang bermula di jemaat Helefanicha. Ada
seorang yang menangis terus-menerus karena menyesali dosanya. Peristiwa ini pun
terus terulang dan makin banyak orang yang demikian. Kebangunan yang
berlangsung selama sepuluh tahun lebih itu membawa hasil besar bagi kehidupan
jemaat, untuk perseorangan dan untuk persekutuan. Orang menghayati agama
Kristen secara lebih mendalam; kabar kesukaan tentang keampunan dosa telah
menjadi kenyataan hidup bagi mereka. Pergaulan antara sesama anggota jemaat
menjadi santai, bebas, tidak lagi dibuat kaku oleh kenangan akan
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh anggota yang satu terhadap yang
lain. Kehidupan persekutuan jemaat diperkaya, sebab, daripada bersikap pasif
sambil menunggu tindakan penghantar jemaat, kini anggota jemaat ikut serta
dalam segala macam kegiatan persekutuan. Namun, sesudah sepuluh tahun, gerakan
kebangunan yang besar itu mereda. Lalu dalam banyak hal keadaan semula berlaku
kembali. Jemaat kembali menjadi pasif, kerelaan berkorban bagi kehidupan jemaat
menghilang lagi, disiplin gereja perlu diterapkan lagi, adat kembali berkuasa
di atas hukum Kristen (khususnya dalam hal mas kawin/jujuran yang terlalu
tinggi). Dalam dasawarsa-dasawarsa yang kemudian, sebagian dari massa yang
masuk Kristen malah memisahkan diri atau berhasil ditarik oleh misi Katolik.[11]
E. Gereja
Berdiri Sendiri
Setelah
gerakan kebangunan mereda, para zendeling mulai memikirkan kemandirian gereja.
Pada tahun 1936 selesailah mereka merancangkan tata gereja. Lalu diadakan
sinode Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) yang pertama (18 November 1936).
Sinode itu menerima tata gereja yang telah dirancangkan. Keinginan Pengurus RMG
di Barmen supaya semua pekabar Injil bangsa Eropa otomotis menjadi anggota
sidang sinode dipenuhi; sebaliknya para zendeling menolak permintaan orang
Kristen Nias, agar setiap distrik gereja diperbolehkan mengutus seorang tokoh
masyarakat (seorang kepala suku) ke sinode sebagai anggota yang berhak penuh.
Pada tahun 1940, semua zendeling bangsa Jerman ditawan oleh gubernemen. Maka
fungsi ketua sinode (Ephorus) diambil alih oleh serang pendeta Nias, bernama
Atefona Harefa. pada tahun 1942, para pendeta Belanda yang telah menggantikan
orang Jerman yang ditawan itu diinternir pula oleh penguasa Jepang. Maka gereja
harus benar-benar berdiri sendiri. Barulah pada tahun 1951 seorang utusan
zending dari Jerman (seorang dokter) kembali bekerja di Nias, disusul oleh
sejumlah orang Eropa yang lain. Namun, kedudukan mereka ini berbeda dengan
kedudukan para zendeling sebelum perang: mereka mendapat status
"penasihat".[12]
F. Nama,
Kedudukan, dan Logo BNKP
BNKP
adalah singkatan dari Banua Niha Keriso Protestan yang merupakan persekutuan
orang-orang percaya kepada Yesus Kristus yang berasal dari suku Nias dan suku-suku
lainnya di dunia. BNKP hadir dan melayani di seluruh wilayah Indonesia dan
Kantor Sinodenya berkedudukan di Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara. Logo BNKP
adalah seperti terlihat di bawah ini:
Dengan
arti dan makna sebagai berikut:
1. BNKP
mengaku bahwa Yesus Kristus yang ditandai dengan salib-Nya telah memanggil suku
Nias dan sukusuku lainnya dari dunia ke dalam terang-Nya yang ajaib untuk
beroleh pengampunan dan keselamatan.
2. Tulisan
BNKP yang mengitari salib, merupakan pengakuan bahwa kehidupan BNKP secara
total adalah dari, oleh dan untuk Yesus Kristus.
3. BNKP
sebagai gereja telah diutus kembali ke dalam dunia yang ditandai dengan bola
bumi, untuk memberitakan salib Kristus dalam menyatakan pembebasan,
pengampunan, perdamaian dan berkatbagi segala makhluk.
4. BNKP
sebagai gereja berpengharapan akan kehidupan yang kekal yang ditandai dengan
mahkota yang telah dipersiapkan oleh Yesus Kristus bagi orang yang percaya dan
setia kepada-Nya.[13]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai
dampak datangnya Injil dan usaha pekabaran injil di Nias, maka berdirilah
Gereja BNKP yang melembaga sebagai satu sinode
pada tanggal 18 November 1936. BNKP adalah satu gereja beraliran
reformasi di Indonesia, yang telah menjelma di Pulau Nias sejak kedatangan
Missionaris pertama Ernst Ludwig Denninger di Pulau Nias pada hari Rabu,
tanggal 27 September 1865. Denninger
memiliki banyak cara untuk menarik perhatian supaya orang-orang mau belajar
Firman Tuhan dan menyanyikan puji-pujian. Dalam perkembangannya tercatat bahwa
BNKP berasal dari hasil pemberitaan Injil
para utusan Rheinische Missions Gessellschaft (RMG) dan ada pula utusan
dari Belanda yang selanjutnya diteruskan oleh para pemberita Injil Ono Niha.
B. Saran
Para
misionaris yang melayani di Pulau Nias, patutlah menjadi teladan bagi kita.
Mereka sudah mengalami hal-hal yang pahit, namun tetap teguh dalam pemberitaan
Injil. Kerinduan mereka supaya semua bangsa mengenal Injil-Nya haruslah juga
tertanam dalam diri kita walaupun dalam pelayanan banyaklah tantangan yang
harus kita hadapi. Kita juga dapat meneladani Denninger, di mana dalam melayani
kita harus memikirkan berbagai macam cara untuk menarik perhatian orang-orang
sehingga mereka tertarik untuk belajar Firman Tuhan dan Kristuslah yang
dipermuliakan.
[1]
Dr. Th. Van den End, Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi
Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-sekarang, Jakarta: Gunung Mulia,
1993, 202
[2]
Bambowo La‟iya, Solidaritas Kekeluargaan, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1983, Hal 27.
[3] Perang
Hidayat/ Perang Banjar (1859-1905)] adalah perang perlawanan terhadap
penjajahan kolonial Belanda yang terjadi di Kesultanan Banjar yang meliputi
wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
[4]
Dr. Th. Van den End, Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi
Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-sekarang, Jakarta: Gunung Mulia,
1993, 202
[5] https://bnkpteladan.wordpress.com/bnkp/
[6] http://www.sabda.org/sejarah/artikel/pekabaran_injil_dan_gereja_di_nias.htm
[7]
Dr. Th. Van den End, Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi
Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-sekarang, Jakarta: Gunung Mulia,
1993, 203
[8] https://bnkpteladan.wordpress.com/bnkp/
[9]
Ibid..
[10]
Dr. Th. Van den End, Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi
Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-sekarang, Jakarta: Gunung Mulia,
1993, 203
[11] http://www.sabda.org/sejarah/artikel/pekabaran_injil_dan_gereja_di_nias.htm
[12]
Dr. Th. Van den End, Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi
Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-sekarang, Jakarta: Gunung Mulia,
1993, 206
[13] tata-gereja-banua-niha-keriso-protestan-bnkp.pdf