Pendahuluan
Pernahkah kita mengukur diri kita
sendiri atau menilai diri kita sendiri apakah kita sungguh-sungguh telah hidup
benar? Dalam Amsal 14:29-33, terdapat beberapa kontradiksi yang akan kita
cermati bersama.
Isi
Benar dan salah adalah hal yang
bertentangan. Sekali lagi, kita sebagai Hamba Tuhan, apakah kita telah hidup
sebagai orang benar? Pada perenungan saat ini, kita belajar beberapa ciri orang
benar dan yang bukan.
I.
(Ay.
29) Orang benar itu sabar, tetapi yang bukan, akan cepat marah
Kata “sabar” pada ayat ini, dalam arti sebenarnya adalah
“hidung/nafas panjang”. Ini adalah sebuah idiom Ibrani yang menekankan bahwa
orang yang sabar, tabah, dapat menahan emosinya, memiliki nafas panjang
(menjaga kesehatannya).
Ilustrasi:
Waktu masih di taman Eden, beberapa hari berturut-turut ,
Adam selalu pulang lewat malam. Hawa sangat kesal, “kamu mulai sorong dengan
perempuan lain ya?” kata Hawa memulai tuduhannya. “ngaco kamu, gak rasional!”
Jawab Adam. “Kamu kan satu-satunya perempuan di muka bumi ini.” pertengkaran
terus berlanjut, kemudian terhenti ketika Adam tertidur. Tetapi tak lama
kemudian, Adam terbangun karena merasa geli di bagian rusuk badannya. Ternyata
Hawa sedang menusuk-nusukkan jarinya ke rusuk Adam. Setengah berteriak, Adam
berkata “Hei, apa yang kamu lakukan?” Hawa dengan santai menjawab, “Aku sedang
menghitung rusukmu.”
Ketika emosi menguasai, rasio jadi tersingkirkan. Blunder (kesalahan
besar/ kekhilafan) biasanya berawal dari kondisi demikian.
Mungkin tidak kita sadari. Kebodohan tampak nyata bukanlah
karena IQ kita rendah. Atau juga karena tingkat pendidikan rendah. Maupun
karena kurangnya pengetahuan. Tapi karena kita tidak bisa mengendalikan
kemarahan.
Menjadi orang sabar itu banyak manfaatnya. Selain lebih
sehat, kita dapat menjadi lebih bijaksana terlebih dalam mengambil keputusan
atau tindakan karena akal pikiran kita masih dapat terkontrol. Tidak dikuasai
emosi. Dan kadangkala di saat marah, kita ingin melukai orang lain. Setelah
semua berlalu, barulah kita menyadari bahwa yang terluka sebenarnya adalah diri
kita sendiri.
II.
(Ay.
30) Orang benar itu berhati tenang, tetapi yang bukan, memiliki iri hati
“hati yang sehat, menghidupkan daging, tetapi iri hati
mengeringkan tulang.” Kata iri hati di sini menggunakan kata “kin’ah” yang
berarti jealousy yang memiliki makna bukan hanya kecemburuan, tapi juga iri
hati dan juga kedengkian. Dan semuanya itu akan “rottenness to the bones”. Bukan
hanya kurus. Tp tulang menjadi kering. Bahkan, dalam terjemahan Jerusalem Bible
dikatakan bahwa “envy” akan menyebabkan kanker. Kanker tulang. Bukan “kanker =
kantong kering”. Jika kantong kering tapi hati kita tenang, kita akan tetap
sehat-sehat saja.
“di saat badai bergelora, ku akan terbang bersama-Mu, Bapa
Kau Raja atas s’mesta. Ku tenang s’bab Kau Allahku”
Sumber ketenangan kita adalah Allah sendiri. Dan yang
bersumber dari diri kita sendiri hanyalah ego yang jika tidak kita puaskan akan
menyebabkan iri hati atau kecemburuan dan itu akan menyakiti diri kita sendiri.
Mari serahkan diri kita kepada Tuhan biar Tuhan yang menguasai ego kita dan
memberikan ketenangan dan damai sejahtera.
Dan mari kita intropeksi diri kembali. Apakah dalam hati kita
masih ada “jealousy” yang membuat kita tidak tenang? Yang membuat kita tidak
sejahtera? Jika ya, apakah kita pantas menilai diri kita sebagai orang benar?
III.
(Ay.
31) Orang benar itu menaruh belas kasihan, tetapi yang bukan, menindas yang lemah
Dalam perikop bacaan hari ini, sikap menghina dan menindas
sesama diulang hingga dua kali (ay. 21, 31). Menunjukkan betapa rawannya umat
Tuhan untuk bersikap tidak benar kepada sesama, terutama kepada orang yang
lemah, miskin, atau tidak sempurna secara fisik (difabel). Sikap menghina bisa
berarti merendahkan, memandang rendah atau hina, menganggap tidak penting.
Sebagaimana dinyatakan oleh Tuhan Yesus, sikap kita terhadap orang-orang
seperti mereka memancarkan sikap kita terhadap Tuhan (Mat 25:40).
Peraturan Daerah tentang Kesetaraan dan Pemberdayaan Difabel
(2013) di Wonogiri, Jawa Tengah, menarik untuk dicermati. Menurut peraturan
tersebut, orang yang terbukti menghina kaum difabel dapat dikenai denda sebesar
50 juta rupiah. Banyak pihak memberi apresiasi tinggi atas kebijakan ini.
Diharapkan, hal itu berdampak positif dan menyadarkan orang untuk lebih
menghargai kaum difabel.
Tindakan menghina atau menindas orang lemah adalah penghinaan
terhadap Sang Pencipta. Di sekitar kita, tidak sedikit orang hidup dalam
kelemahan, miskin secara materi, atau tidak sempurna secara fisik (difabel).
Sementara itu, tidak sedikit pula orang yang memperlakukan mereka dengan cara
yang tidak patut, merendahkan, bahkan menghina dan menyepelekan. Bagaimana
dengan kita? Sudahkah kita memancarkan kasih Tuhan dengan mengasihi sesama,
khususnya mereka yang lemah? Kiranya kasih-Nya memotivasi kita untuk
memperlakukan sesama dengan benar, bukan karena takut hukuman atau denda karena kita dipanggil untuk menolong
orang-orang yang membutuhkan bantuan, terlebih kepada orang-orang yang
terabaikan, lemah dan tak berdaya, miskin. Dan haruslah kita
merefleksikan iman kita dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang merefleksikan iman
adalah tidak menindas orang lemah, tidak memeras orang miskin.
Pandanglah sesama dengan kacamata kasih sebagaimana Tuhan memandang
kita Nyatakan kasih Kristus kepada dunia melalui perbuatan nyata untuk menolong
orang lain. Marilah kita refleksikan iman kita secara nyata melalui kepeduliaan
kita dengan sesama secara khusus bagi mereka yang lemah. CARA KITA MEMPERLAKUKAN MANUSIA MENUNJUKKAN
SIKAP KITA KEPADA TUHAN.
IV.
(Ay.
32 dan 33) Orang benar akan mendapat perlindungan bahkan hikmat, tetapi yang bukan, akan dirobohkan
Ini adalah dampak dari
cara hidup kita. Apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai. Orang yang hidupnya
tidak benar, akan dirobohkan. Dia akan menuai akibanya. Hati-hati! Mungkin
akibatnya itu tidak langsung berdampak saat itu juga, saat kita melakukan
ketidakbenaran. Namun, hal itu pasti terjadi. Selain mendapatkan perlindungan, orang benar akan diberikan hikmat dari
Tuhan untuk senantiasa melakukan segala sesuatu sesuai dengan tatanan yang
ditetapkan oleh Allah.
Penutup
Status orang benar atau bukan,
tidaklah dinilai dari diri kita sendiri, melainkan penilaian dari orang lain.
Jadi, apakah kita bisa dikatakan sebagai orang benar? Ya. Karena Tuhan Yesus
sendiri telah membenarkan kita dan menjadikan kita sebagai orang benar. Itu
adalah sebuah anugerah. Oleh sebab itu, marilah kita yang telah dibenarkan oleh
Kristus, merefleksikannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Hidup sebagai orang
benar yang dapat bersabar, berhati tenang, dan memiliki belas kasihan. Supaya
orang lain juga dapat menilai kita bahwa kita telah hidup di dalam kebenaran.